Tirakat

Kata tirakat adalah penjawaan dari kata Arab, thariqah  yang bermakna “jalan yang dilalui”. Bahasa Indonesia kemudian menyerap kata ini menjadi tirakat dan tirakatan.
Tirakat berarti menjalani laku spiritual untuk mencapai sesuatu yang diiinginkan. Disebut pula oleh kalangan pesantren dengan riyadhah, yaitu menjalani laku mengendalikan dan mengekang hawa nafsu.  

Ketika disebut tirakatan maknanya adalah tradisi sebagian masyarakat untuk mengisi hari raya Idul Fithri dengan cara lek lekan (tidak tidur semalaman).  Tradisi tersebut diisi dengan berbagai kegiatan untuk mengasah kesadaran spiritual, tetapi kadang diawali dengan sambutan-sambutan dalam acara Syawalan. 

Waktu penyelenggaraannya  tidak sama antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lain, tetapi tetap masih di bulan Syawal. Dalam masyarakat pesantren, tirakat menggabungkan pengekangan dan pengendalian hawa nafsu (riyadhah)  dan  penempuhan jalan tertentu (thoriqat) untuk mencapai yang diinginkn.


Berbagai jenis tirakat yang dikenal di kalangan pesantren adalah puasa Ndawud, puasa Senin Kamis, mutih, ngrowot, pusa Ndala’il, dan lain-lain, diiringi dengan pembacaan hizib, doa, ratib, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara ijazah dari guru.

Cara detil dalam melakukan tirakat, bisa berbeda-beda antara di antara setiap pelaku, tergantung bagaimana ijazah yang diberikan oleh guru. Menjalani tirakat diyakini masyarakat NU bisa menjadikan kualitas spiritual semakin dekat dengan Allah dan hajat bisa dikabulkan, bila dilakukan dengan benar dan diselesaikan secara purna.

Karena itulah, tidak jarang orang tua di kalangan masyarakat NU menjalani tirakat agar anaknya dikaruniai ilmu yang bermanfaat, menjadi `arifin, dan lain-lain; dan untuk kepentingan-kepentingan lain. 

(Sumber: Ensiklopedi NU)

Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/tirakat-oA4cd